LEGENDA BATU MAMBEN
Batu Mamben yang terletak di Kelurahan Sepang Simin, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas konon merupakan jelmaan manusia yang kemudian menjadi salah satu Patahu atau penjaga kampung, seperti dikutip dari Folks Of Dayak, komunitas anak-anak muda pemerhati dan pelestari budaya adat Dayak.
Pada zaman dahulu kala diperkirakan terjadi di tahun 15 SM, dikisahkan ada sepasang suami istri yang bekerja sebagai pedagang, ia bernama Mamben dan istrinya bernama Mirit. Mereka berasal dari arah Kahayan Hilir, kemungkinan mereka asalnya dari daerah Banjar Kalua yang berhijrah ke Kahayan. Ia sering mudik ke hulu Sungai Kahayan untuk singgah di kampung-kampung untuk berniaga.
Mamben juga terkenal sebagai orang sakti, sebagai pawang buaya.Suatu waktu mereka pun singgah di Sepang Simin ini yang saat itu masih bernama Sopang Simin. Kampung ini dipimpin oleh Dahiang Ama Bujang atau Singa Hantarung.
Di tempat tersebut Mamben beserta istri disambut dengan baik oleh Dahiang Ama Bujang. Mereka pun tinggal di sana beberapa lama dan menjadi sangat karib. Selain karena hubungan perniagaan, juga karena sikap dan perangai Mamben yang baik hati hingga Dahiang Ama Bujang dan Mamben pun melakukan ritual angkat saudara sedarah. Yaitu dengan meneteskan darah masing-masing pada daun sirih, kemudian mereka masing-masing akan mengunyah sirih itu sampai habis dan tidak boleh ada yang terbuang.
Demikianlah terjadi suatu persahabatan antara kedua tokoh ini. Setelah sekian lama, Mamben pun berpamitan kepada saudara angkatnya tersebut untuk melanjutkan perjalanan perniagaannya ke arah hulu Sungai Kahayan.
Dahiang Ama Bujang sudah memberi peringatan kepada Mamben untuk tidak pergi. Sebab saat itu sedang marak asang kayau dari arah hulu Sungai Barito dan Mahakam, namun Mamben tetap melanjutkan perjalanannya.
Setelah sekian waktu berlalu, Dahiang Ama Bujang sedang berladang, tidak jauh dari kampung tempat mereka tinggal, langit terlihat gelap pertanda hendak turun hujan yang sangat lebat. Mereka pun segera berkemas untuk segera kembali ke kampung.
Hujan yang sangat lebat disertai angin yang kencang dan petir yang sahut menyahut, membuat pandangan mereka terbatas. Namun syukurnya mereka bisa tiba di tepian kampung dengan selamat, dan segera menambatkan perahu mereka.
Pada saat ia menambatkan perahunya, ia sangat terkejut melihat sesuatu mengapung-apung di sungai. Dengan pandangan yang terbatas karena hujan yang lebat tersebut, ia melihat itu adalah tubuh manusia.
Mereka pun segera menarik tubuh manusia tadi. Betapa terkejut dan sedih hati Dahiang Ama Bujang, sebab ternyata itu adalah mayat Mamben dan istrinya.
Ia pun membawa mayat Mamben naik dan membaringkannya di tempat mereka menempa senjata–umumnya selalu di bawah rumah betang atau di suatu pondok, sedangkan mayat istri Mamben tetap berada di pinggir sungai ditutupi kajang.
Karena hujan yang amat lebat, disertai angin dan petir yang sangat dahsyat membuat Dahiang Ama Bujang harus berlindung di dalam rumah, hingga ia tertidur.
Di dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa Mamben dan istrinya. Mamben berkata di dalam mimpinya bahwa mereka telah dibunuh oleh pasukan asang kayau, mayat mereka pun dibuang ke sungai, hingga terbawa arus dan tertambat di kampung saudaranya itu. Tapi Mamben berkata kepada saudaranya itu untuk tidak perlu sakit hati, sebab ia sendiri yang akan menuntut balas.
Mamben berkata ia akan menjelma menjadi batu dan istrinya menjelma menjadi seekor buaya putih, mereka akan menjaga dan melindungi kampung Sopang Simin. Sedangkan kajang yang digunakan Dahiang Ama Bujang untuk menutup mayat istrinya akan berubah menjadi rotan ahas yang memiliki guna, apabila mereka hendak pergi mengayau, pengecualian bagi Dayak sah, maka mereka harus mengambil kajang tersebut dan rotan ahas sebagai penyang jimat pelindung, sehingga mereka bisa pulang kembali dengan selamat.Dahiang Ama Bujang pun terbangun dari mimpinya, ia pun segera pergi untuk melihat kebenaran mimpinya tersebut. Ternyata benar saja, ia tidak dapat menemukan lagi mayat Mamben dan istrinya, selain dari batu dan tidak jauh dari batu itu tumbuhlah kajang dan rotan ahas, sesuai dengan mimpi Dahiang Ama Bujang.
Batu itu pun kemudian dijadikan keramat hingga hari ini di kampung Sopang Simin. Batu ini selain sebagai penjaga kampung, ia juga dapat memberi petunjuk jika akan terjadi bencana atau hal buruk, demikian juga jika akan terjadi hal yang baik.
Inilah bentuk pertalian persahabatan yang kekal yang bahkan sudah berbeda alam antara Singa Hantarung atau Dayak Ngaju dan Mamben yang adalah orang Banjar.
Seiring berjalannya waktu dan perubahan alam, terutama akibat gerusan Sungai Kahayan serta akibat tangan-tangan jahil dan kegiatan penambang emas ilegal yang tidak bertanggung jawab, telah membuat rumpun pohon kajang Mamben menjadi musnah, hanya tertinggal Batu Mamben yang tersisa.
Pada masa pemerintahan Tamanggung Tuhun yang dilanjutkan oleh menantunya Dambung Tahunjung, seiring masuknya pengaruh dari pemerintah Kolonial Belanda, Kampung Sopang Simin semakin berkembang maju. Dengan bertambahnya jumlah penduduk kampung, maka dibuka dan dibangunlah sebuah perkampungan baru yang lebih ke hilir. Sementara itu, Situs Batu Mamben dan Kajangnya tetap berada di kampung Sopang Simin lama, dan pada saat itu nama kampung Sopang Simin juga berubah menjadi Sepang Simin.
Kemudian atas mufakat warga Desa Sepang Simin, pada 1992 Situs Batu Mamben dipindahkan dari Kaleka Sepang Simin Lama ke daerah ujung Desa Sepang Simin. Pada tahun 2005, Pemerintah Kabupaten Gunung Mas melalui dinas terkait telah mendaftarkan Situs Batu Mamben sebagai salah satu situs cagar budaya yang wajib dilestarikan.